PEREMPUAN: Di Antara Bias Rumah Tangga dan Pendidikan

Desember 23, 2021

 

                                              

Sekitar satu minggu yang lalu, saya bertemu dengan salah seorang teman satu angkatan dulu, waktu masih duduk di bangku SMP. Tak sengaja, saya berpapasan dengannya di salah satu pusat perbelanjaan. Ia terlihat sedang sibuk memilih-memilah keperluan bayi dan kebutuhan domestik khas ibu-ibu rumah tangga. Di belakang, terlihat adik laki-lakinya mengikuti serta membawakan keranjang belanjaan. Setelah mengetahui keberadaan saya, reaksi pertamanya ialah menyapa saya dengan senyum lima jari. Saya pun menjawab singkat sapaannya. kemudian kami melanjutkan urusan masing-masing.

Saya melanjutkan mencari sebotol minuman dingin, beberap bungkus roti, dan kuwaci—cemilan penghibur favorit saya—untuk menemani istirahat setelah perjalanan yang lumayan  menguras karbohidrat dan mineral dalam tubuh. Setelah selesai membeli ketiganya, saya bergegas menuju teras swalayan untuk duduk, menenggak air, dan, meregangkan otot yang terasa kaku setelah 4 jam berkendara.

 Beberapa menit setelahnya, ia keluar bersama adiknya, lalu ikut duduk di teras swalayan, sembari metelakkan barang belanjaan yang menimbun pangkuan adiknya. Ia, adiknya, dan, pembeli lain, juga dengan terpaksa, atau –sebenarnya biasa saja, turut berhenti menunggu hujan reda dan menghindar dari tempias air hujan di emperan.

            Di tengah gemericik hujan—saya lupa siapa yang lebih dulu memecah keheningan, saya atau dia? Entahlah, yang jelas setelah itu kami asyik membincangkan berbagai hal: nostalgia masa alay dulu, mengabarkan kesibukan terkini, dan, menghitung jangka waktu kami tidak bertemu. “Sudah hampir 8 Tahun, ya?” ucapnya. “Setelah lulus SMP sebagian besar dari kita kan kembali ke pertapaan masing-masing, jadi tidak mungkin bertemu” jawab saya bergurau.

            Di tengah obrolan itu, saya sempat menyinggung kemana ia melanjutkan sekolah setelah SMP dulu. Dan, ternyata ia sempat masuk di salah satu SMA swasta, tapi hanya bertahan dua tahun. Konon katanya, seusai itu ia lebih memilih untuk bekerja di Toserba. Setelah saya tanyakan alasanya, ia menyeringai sembari berucap: “Toh ya sama saja, sekolah SMP, SMA, atau sampai perguruan tinggi sekali pun, ujung-ujungnya—sebagai wanita, akan tetap nyapu, masak, nyuci baju, momong anak, melayani suami. Kalau sudah tau ending-nya, ngapain susah-suah melanjutkan sekolah” tuturnya kala itu.

            Meskipun agak berbeda pendapat, saya meng-iya-kan saja apa yang ia yakini. Toh kalau pun saya menyangkal pendapatnya, justru itu bakal merusak suasana reoni singkat saya dengannya. “Lain waktu, kalau dimintai pendapat soal perkara ini, saya bakal berpendapat, itu pun kalau memang benar-benar diminta” pikir saya waktu itu. “Saya akan memaparkan datanya, hasil penelitian, jurnalnya, atau memberi tahu pengaruhnya—baik secara mental, psikologis, sosial, agama, dan lain-lain—bahwa menjadi ibu rumah tangga yang berpengatuhan itu pilihan yang tepat dan hebat—sama sekali bukan sebuah aib atau kesalahan.” kelebat pikiran saya seketika.

*Beberapa hari setelahnya.

            Di tengah suasana kerja, saya diberi amanah oleh kantor untuk mendatangi salah satu nasabah, untuk meminta beberapa data usaha yang tengah dikembangkan. Di sela-sela waktu obrolan dengan nasabah itu. Ia banyak membincangkan adiknya yang sedang terlilit hutang. Setiap hari seperti ada saja rentenir yang rajin berkunjung. Sedang adiknya itu seperti tidak punya iktikad baik untuk menyelesaikan tanggung jawabnya. Dan, alhasil bapak inilah yang berusaha menutup sebagian hutang adiknya.

“Iya itu, mas, sebagian modal produksi, terpaksa saya gunakan untuk menutup hutang adik saya” ujar beliau setelah saya tanya apa kendala usahanya belakangan ini. “Ya wes begitulah, kalau berurusan dengan orang yang kurang berpendidikan, ditawari pekerjaan nggak mau, giliran ada hutang bilangnya ke saya, anaknya mau saya sekolahkan tinggi nggak boleh, katanya ujung-ujungnya bakalan ngurus dapur juga, anaknya mau saya antar ke pondok dan ditanggung biayanya—biar punya ilmu agama, juga gak boleh, katanya penting dia sudah bisa sholat tidak perlu mondok” tutur beliau setelah menghembuskan beberapa kali asab dari tembakaunya.  

Saya ikut penasaran, lalu berinisiatif menanyakan apakah si bapak ini sudah pernah bicara dengan istri adiknya, untuk persoalan seperti ini. setidaknya dan barangkali istrinya bisa memberi penjelasan bahwa pendidikan anak itu penting, mencari jalan tengah permasalahan itu penting, membuka wawasan dan menunaikan tanggung jawab itu juga penting—pikir saya kala itu.

 “Istrinya sama saja. Lah wong juga sama-sama kurang berpendidikan. Jadi, Apa pun anggapan suaminya ya setuju-setuju saja—salah-benar urusan belakangan.” Jawab beliau. Mungkin maksud sebenarnya dari bapak itu bukan perihal “kurang berpendidikan”. Melainkan “kurang berpengetahuan”. Sebab, tidak bisa dipungkiri, bahwa terkadang pendidikan tinggi yang sifatnya formal tidak mampu diakses oleh semua orang—dengan berbagai hambatan, seperti biaya, lokasi yang kelewat jauh, kondisi orang tua, dan, lain sebagainya. Tapi untuk berpengetahuan, seseorang bisa saja belajar lewat peranti apa pun, tidak harus di sekolah formal.

Sepulang dari kunjungan, ingatan saya menerawang pada pertemuan beberapa hari lalu, tentang teman saya yang beranggapan bahwa perempuan itu tidak perlu pendidikan tinggi, jika akhirnya tidak dipakai juga . Dan, setelah mendengar cerita dari bapak itu pun, saya semakin yakin, pendapat teman saya tidak sepenuhnya benar. Sebab, sebetulnya pendidikan tinggi tidak hanya dipakai untuk bekerja saja. Melainkan, juga akan sangat berguna untuk menentukan setiap keputusan yang diambil, Sikap dalam menghadapi masalah, Dan, merumuskan tujuan hidup.

Perempuan akan tetap mulia jika ia berpendidikan tinggi lalu memilih menjadi ibu rumah tangga. Karena ia akan menjadi sekolah terbaik pertama untuk anak-anaknya. Atau, dan yang pasti, ia akan berperan aktif untuk menetapkan visi-misi kehidupan rumah tangga bersama suaminya. Ia akan berperan sebagai evaluator  setiap keputusan keluarganya, atau, perilaku anak-anaknya dengan dasar yang jelas—bukan penilaian yang hanya berlandaskan suka-tidak suka.

Namun, bukan berarti saya menyalahkan perempuan yang tidak menjangkau pendidikan tinggi. Akan tetapi, poin utamanya ialah bagaimana kita tidak memandang rendah siapa pun, baik perempuan yang berpendidikan tinggi dan memilih menjadi ibu rumah tangga, atau pun perempuan yang tidak menjangkau pendidikan tinggi, tapi ia tetap mau belajar memperluas pengetahuan dan wawasan.

Dan, untuk perkara memperluas pengetahuan dan wawasan, tidak harus bergantung pada pendidikan formal saja. Bisa dan amat bisa dengan membaca, berdiskusi, mengikuti kajian keilmuan atau kitab, ikut seminar, pelatihan, dan lain sebagainya. Masih banyak pilihan.

Pada akhirnya—dan, yang perlu saya tegaskan—bahwa bukan pada tempatnya, menganggap perempuan yang berpendidikan tinggi dan berstatus sebagai ibu rumah tangga itu percuma. Sebab, esensi dari pendidikan ialah perkembangan pola pikir. Dan, pola pikir itulah yang nantinya akan menjadi pola sikap. Pola sikap akan bertranformasi menjadi karakter. Dan, pada akhirnya karakter itu akan berubah wujud menjadi nasib yang menentukan hidup setiap orang.

~ Wasis Zagara

Ponorogo, 21-12-2021

Sumber Gambar: Pixabay.com

You Might Also Like

0 komentar

Sederhanalah Sejak dalam Pikiran!

Malam itu, aku sempat bertanya pada ibu "apakah ibu dan bapak menginginkan dicarikan mobil untuk a...

Popular Posts

Like us on Facebook

Flickr Images