Sederhanalah Sejak dalam Pikiran!

Desember 18, 2023







Malam itu, aku sempat bertanya pada ibu "apakah ibu dan bapak menginginkan dicarikan mobil untuk acara wisuda besok lusa atau tidak" pikirku ya sekali-kali ingin rasanya memuliakan orang tua--dgn cara-cara yang konvensional pada umumnya. Alih-alih mensetujuinya, ibu justru berkata "Gak usah le, biasa-biasa wae, ibu iku sek kuat motoran, wong karo bapakmu gawene nek alun-alun, neng magetan, madiun yo biasa motoran, wis biasa-biasa wae, nek enek rezeki lebih, mending ditabung opo digawe syukuran, iku manfaate luwih akeh, tur luwih akeh sing iso ngrasakne, mungguhe ibu." Begitulah tutur ibu waktu itu.

Aku pun sebetulnya sangat sependapat dengan ibu, begitu pula bapak. Mereka menurutku punya sisi kesederhanaan tersendiri dalam memandang hidup, juga cara berpikir. Dan, aku salah satu pribadi yang menyukai kesederhanaan itu. Tidak ingin juga terlalu larut dengan perayaan, euphoria, dan juga segala sesuatu yang sifatnya  "gebyar" semata.

Lain dari itu, aku menganggap momen kelulusan itu bukan menandakan kita telah “selesai” dan lepas dari segala macam tanggungan belajar, akan tetapi justru sebaliknya. Kelulusan menurutku justru menjadi gerbang awal untuk mempraktikan apa yang sudah kita pelajari semasa masih berstatus siswa yang maha itu. Seperti kata petuah jawa “Ilmu iku kelakone khanti laku”.

Lalu, di waktu acara itu tiba, di momen itu, ibu terlihat hadir bersama bapak dan kedua kopanakannya--Windi dan Nisa.  Ibu dengan rias wajah yang tak menor sama sekali, bapak dengan balutan batik dan peci seperti biasanya. Sedang windi dan nisa dengan pakaian berwarna gelap yang hampir senada.

Aku menikmati momen kelulusan dengan hikmat. Ibu dua anak disampingku--yang juga peserta wisuda, cukup menyenangkan diajak ngobrol dan bertukar pengalaman. Di sela-sela waktu kami pun banyak berdiskusi tentang berbagai hal. Sedang ibuk--katanya asyik ngobrol dengan seseorang dan juga keponakannya. Bahkan sembari menunggu aku keluar, mereka sempat "ngopi" di kafe dekat kampus katanya--aku cukup terpingkal mendengarnya--mungkin itu kali pertama ibu ngopi di kafe, lengkap dengan perbincangan khas anak muda, diiringi lantunan lagu ala ala anak indie yang menanti senja. Aku cukup tergelitik membayangkan ekspresi ibu. Sedangkan bapak--katanya--sudah asyik ngobrol "jaduman di lantai dua"--ngobrol dengan Pak Haji dari Magetan, yg baru saja ia kenal, katanya.

Setelah serangkaian acara selesai, aku keluar. Ibu, bapak, Windi, dan Nisa menemuiku sembari membawa serangkaian buket bunga dan jajan—“Ini tadi titipan dari temen, Mas” kata Windi. Kami sempat berfoto sebentar--hanya untuk mengabadikan momen di ruangan--yang sudah lumayan sepi waktu itu--karna mungkin sebagian besar hadirin sudah pergi ke studio foto, ke restoran, atau, entah kemana. Windi sebagai fotografer amatiran, sigap memandu kami yang tidak pandai bergaya di depan kamera. Nisa juga cukup inisiatif membantu, dengan mengatur barang-barang yang cukup menumpuk di ransel dan tanganku.

Tak lama, kami pun pulang, ibu berboncengan dengan bapak, aku dengan Nisa dan Windi motoran sendiri dengan se-umbruk hadiah yang diberikan kepada bawaannya. Kami seperti iring-iringan konvoi kecil di sepanjang jalan. Sempat berhenti sejenak, untuk beli sedikit oleh-oleh dan menikmati soto yang katanya Khas Pulung itu.

Bukan suatu prosesi yang "Wah" memang. Biasa-biasa saja. Tapi bagiku sudah lebih dari " Indah dan berkesan". Kami pun bisa menikmati setiap momen dan  kesakralan itu. Keluarga kecil yang sederhana, cara bersikap dan berpikir yang sederhana pula. Tapi lagi-lagi, sudah lebih dari cukup, bagiku. Dan, sedikit menggubah ungkapan Eyang Pram “Sederhanalah sejak dalam pikiran.”

W.Z

05/07/23

You Might Also Like

0 komentar

Sederhanalah Sejak dalam Pikiran!

Malam itu, aku sempat bertanya pada ibu "apakah ibu dan bapak menginginkan dicarikan mobil untuk a...

Popular Posts

Like us on Facebook

Flickr Images