Adakah Yang Lebih Buruk Dari Perpisahan?

September 17, 2020

       Awalnya, saya sempat bertanya-tanya dalam benak. Pagi itu cerah, tapi mengapa orang-orang yang berdatangan berwajah mendung? Terlihat seorang laki-laki paruh baya berjalan menenteng segebel map yang lumayan tebal, di sampingnya—agak berjauhan, seorang wanita menggendong anak kecil yang kerap kali menampilkan perawakan wajah hujan. Di sudut lain, pengacara sedang sibuk-sibuknya membolak-balikan kertas, di sampingnya laki-laki muda bersungut-sungut, seperti ingin meledakan dendam yang disimpannya selama berabad-abad.

Memasuki area kantor pun begitu-- Pintu gerbang seolah-olah melihat satu pemandangan yang pasti; orang-orang yang berdatangangan hampir bisa dipastikan berwajah lesu, muram, marah dan tampak sedang tidak baik-baik saja. Luasnya kantor pengadilan agama, serasa tak pernah cukup ruang untuk menampung hiruk pikuk tamu yang berdatangan. 

“Apakah semua orang itu akan mengajukan perceraian, pak?” tanya saya pada salah seorang staf kesekretariatan. “iya, hampir 80%, mas,” jawabnya singkat. Membuat saya tak henti-hentinya tercengang. Kala itu, hari pertama saya mengikuti kegiatan praktikum di Pengadilan Agama yang diadakan oleh kampus. Jenjang waktu satu bulan yang ditentukan kampus, cukup bisa membuat dada saya berdegup kencang tiap kali mendapati pagi dengan pemadangan seperti demikian.

Dari banyaknya orang yang berdatangan, saya berasumsi bahwa setiap hari akan banyak yang siap menjanda atau pun menduda. “Hampir mayoritas karena alasan Ekonomi, mas” ucap salah satu staf kantor pengadilan itu, setelah saya bertanya “alasannya apa?” pikiran saya kembali bergumam; dengan pertimbangan sematang apa suami-istri memutuskan untuk bercerai? Jika alasannya ekonomi, apa tidak ada cara lain untuk sama-sama bangkit, bekerja bersama-sama untuk saling menopang hidup? Jika dengan alasan tidak ada kecocokan, kenapa dulu—jauh sebelum menikah mereka tidak mempertimbangkan perihal kecocokan dengan masak-masak? Jika alasannya demi anak, bukankah setiap anak menginginkan keluarganya tetap utuh? Pertanyaan-pertanyaan itu membuncah dan memenuhi seisi sudut kepala saya.

Rasa penasaran pun belum juga usai. Ketika saya telusuri melalui peranti Google, angka perceraian di kota saya sendiri ternyata juga tinggi. Pengadilan Agama Ponorogo tahun 2019 kemarin mencatat bahwa dalam rentang waktu bulan Januari sampai September pengajuan perceraian mencapai 1,777 kasus. Itu artinya bila dirata-rata dalam satu hari ada 6 sampai 7 janda dan duda baru di Kabupaten Ponorogo. Cukup produktif. Melebihi jumlah buku yang saya baca saban hari. Melebihi jumlah tulisan yang  saya produksi dalam satu hari. 

        Ketika melaksanakan praktikum di Pengadilan Agama, pagi ke pagi saya lewati dengan perasaan yang buruk. terlebih saya mendapati orang-orang bergantian masuk-keluar ruang sidang. Kerap kali mereka datang sendiri, bersama pasangan, orang tua, dan, tak sedikit pula yang mengajak anak-anaknya—ini pemandangan yang paling miris.

Bayangkan, anak-anak masuk ruang sidang dan melihat sebuah pertempuran dua kubu yang saling bersilat lidah. Dan, kedua kubu itu ialah pihak ayah dan pihak ibu yang dulu dikenalnya saling mencintainya. Seperti melihat perang saudara.  Bagi sang anak pertempuran adu mulut tidak kalah mengerikannya dengan pertempuran adu fisik. Dan, anak-anak belum waktunya melihat pemandangan yang sedemikian memilukan itu. 

Salah seorang teman praktikum di sebelah saya berulang kali mengusap air matanya yang berjatuhan. Barangkali ia sadar betul, anak kecil tidak mengerti apa-apa perihal keputusan orang tuanya berpisah. Jangankan anak kecil, anak yang sudah dewasa pun tak akan semudah itu memahami dan menerima kedua orang tuanya yang sudah tidak bisa bersama-sama lagi.

Sekeras apapun ayah dan ibu meyakinkan anaknya bahwa “inilah keputusan terbaik,” sang anak tetap saja tidak bisa mencerna apa makna “terbaik” yang dikatakan oleh orang tuanya. Bagi sang anak, yang terbaik adalah tetap memiliki keluarga yang utuh. Sang anak selalu ingin ayah dan ibu yang melahirkannya tetap tinggal satu rumah. Ibu memasakan makanan untuk ayah. Ayah mengantar ibu. Dan, keduanya sama-sama mengecup sang anak menjelang waktu tidur tiba. Itulah keinginan sederhana yang tak mungkin didapatkan ketika kata “perpisahan” itu menemui ketukan palu tiga kali di meja pengadilan. 

Tentu, tulisan singkat ini tidak akan menawarkan solusi sedikit pun untuk menekan angka perceraian. Kasus perceraian akan tetap meningkat setiap tahunnya. Anak-anak korban perceraian akan tetap terganggu psikologis dan kejiwaannya setiap hari. Dan, pengadilan akan tetap menjadi medan pertempuran antar pasangan yang sukar didamaikan. Semua itu akan  terus terjadi, dan tak ada sangkut pautnya dengan tulisan ini.

Betapa pun membludaknya angka perceraian, tetap saja kita tidak bisa menyalahkan siapapun. Semua pihak akan merasa sudah memutuskan secara benar. Sang istri menganggap “anak tidak boleh hidup dalam keluarga yang tidak bahagia,” sang suami beranggapan “tidak ada gunanya mempertahankan hubungan yang tidak lagi ada kecocokan,” sang mertua tidak tega melihat anak dan mantunya bertengkar terus saban hari. Dan, nampaknya kata “solusi dan kompromi” sangat pelik sekali untuk diketemukan. Dan, ya sudahlah.


Caffe GB – Jenangan

15/09/2020

Wasis_zagara

 

You Might Also Like

0 komentar

Sederhanalah Sejak dalam Pikiran!

Malam itu, aku sempat bertanya pada ibu "apakah ibu dan bapak menginginkan dicarikan mobil untuk a...

Popular Posts

Like us on Facebook

Flickr Images