Mari Berterimakasih Pada Kucing-kucing

November 12, 2021

 

 


Beberapa hari setelah meninggalnya simbah, barangkali yang menjadi urusan utama ibu hanya berkutat pada aktivitas-aktivitas yang itu-itu saja: mamasak, bersih-bersih rumah, jualan di pasar, dan segala hiruk pikuk aktivitas perkebunan. Sorenya dihabiskan dengan agenda dialog interaktif alias gibah dengan tetangga,dan, malamnya ia tandaskan dengan mononton sinetron kebanggan seluruh emak-emak sejagad raya: andin dan satunya lagi kumenangis.

Saya pikir-pikir lebih jauh, pergumulan aktivitas yang selalu sama setiap harinya, membuat beliau berpotensi besar jatuh pada rasa bosan menahun. Maka setiap akhir pekan, atau ketika kantor sedang libur, sesekali saya ajak beliau berkunjung ke rumah-rumah kerabat, atau nenek, atau tempat angin-anginan terdekat. Tapi saya pikir itu tidak banyak memberikan perubahan. 

Maka, semenjak saat itu saya coba berpikir ulang, mencari alternatif aktivitas lain yang sekiranya bisa sedikit meredakan kebosanan ibu di rumah. Namun, sampai beberapa waktu, jawaban yang saya cari itu tidak kunjung datang.

Sampai pada suatu ketika, saya menjumpai pemandangan yang tak lazim dari raut wajah ibu saya—raut wajah yang bersinar-sinar, seperti seluruh bebannya luruh, semacam ada secercah kegembiraan menyembul dari simpul senyumnya. Ketika itu, ibu menemani proses persalinan kakak keponakan saya di puskesmas. Pemandangan tegang, haru, harap-harap cemas tercermin pada segumul kerabat yang menunggu proses persalinan tersebut, termasuk ibu saya.

Selang beberapa saat perjuangan hidup dan mati kakak keponakan saya, setiba itu tangis pecah, haru biru bersambut wajah yang berbinar-binar dari seluruh penjuru puskesmas kala itu. Bayi mungil dan menggemaskan berhasil melihat bumi pertamanya dengan sehat, begitu pula ibunya—yang tentu saja lemas dan kesakitan tiada kepalang, tapi melihat keduanya baik-baik saja adalah hujan pertama setelah tiga tahun kemarau bagi kami.

Terlebih ibu saya. ia menjadi penggendong pertama bayi mungil itu-- setelah bidan tentunya. Seharian ia terlihat sumringah, seperti anak ABG yang baru saja merasakan jatuh cinta. Lantas, seketika itu tercetus jawaban dalam benak saya, seakan menemukan pijar bola lampu di atas kening saya. “oh inilah jawabanya”.

 Sebagaimana naluri perempuan—yang kerab kali bersikap keibuan, barangkali ibu saya juga merindukan nuansa menjadi seorang ibu seutuhnya: menimang-nimang bayi, melihat betapa mungil dan menggemaskan mahluk kecil itu, mendengarkan rengekan tangisan, dan, mengelus-elus pipi lembut mahluk kecil yang masih akrab dengan air liur, dan sejibun perihal “permomongan” duniawi lalinnya.

Saya merasa agak lega, sebab setelah beberapa bulan, kaka keponakan saya pun cukup sering berkunjung kerumah kami. Sebab, ia berprofesi sebagai guru disekolah madrasah yang kebetulan berdempetan dengan rumah saya. dan, pada saat mengajar, ibu saya lah yang memomong anak pertamanya itu. Terlihat sekali beban kebosanan ibu, sedikit demi sedikit berangsur memudar, kehadiran bayi kecil membuatnya terlipur beberapa waktu. Pemandangan itu semakin memperkuat hipotesa awal saya: “barangkali benar, ibu saya tengah mengidam-idamkan menimang cucu.”

Akan tetapi, situasi saya rasa belum memungkinkan untuk memberikan apa yang beliau idam-idamkan itu. Ya, sebetulnya alasannya cenderung diplomatis: masih mau menuntaskan study, fokus karir, belum selesai dengan diri sendiri dan rupa-rupa alasan lainnya. lantas, sedari itu saya berpikir kembali, menelaah asumsi-asumsi, mengumpulkan hipotesa-hipotesa lanjutan, dan mencari alternatif lain yang sekiranya mampu sedikit menggantikan peran “bayi” untuk obat pelipur  ibu saya—tentu untuk sementara waktu.

Sampai pada suatu ketika, saat saya berkunjung ke rumah teman saya, dan melihat betapa teman saya itu ternyata ialah sosok perempuan yang cukup penyabar, berjiwa keibuan, dan penyayang. Dan, hal itu tercermin jelas dari caranya memperlakukan dan merawat hewan peliharaannya. Saya sungguh terpincut, “wah, inilah yang saya cari”. Eits, jangan salah sangka dulu,  Bukan perempuan itu, melainkan terpincut pada aktivitas memelihara kucing yang selama ini ia kerjakan.

“Nah ini dia aktivitas baru yang kemungkinan bisa menjadi pelipur kebosanan ibu: memelihara kucing” pikir saya kala itu. Benar saja, besoknya setelah mendapat informasi dari teman, bahwa kucingnya berkenan untuk saya adopsi, selepas pulang dari kantor saya langsung membawanya pulang ke rumah, dan memberikannya kepada ibu. Ketika beliau tanya untuk apa, sekenanya saja saya bilang untuk mengusir tikus. Meskipun saya tahu, tujuannya tidak sesederhana itu. heuehueuehu

Saya telah mencari dibeberapa sumber seperti buku, penelitian jurnal, dan beberapa artikel ilmiah—mengenai dampak positif dari memelihara kucing, dari mulai menjadikannya pengasuhnya lebih tenang, menurunkan kadar stress akibat rutinitas, menjadikan tidur lebih nyenyak, dengkurannya mampu meredakan sakit persendian, termasuk serasa punya momongan—manfaat terakhir inilah yang terpenting. heuheuehue

 Dan, benar saja, saya melihat sedikit-banyak perubahan pada raut wajah ibu, terlihat beliau lebih tenang, lebih rilex dan dugaan saya kadar kebosanan dalam menjani aktivitasnya pun berkurang—barangkali salah satunya disebabkan oleh tingkah polah dua hewan peliharaan itu.

Bahkan, sekarang saya rasa ibu lebih perhatian pada dua kucingnya daripada kepada saya—anaknya sendiri. Hadeh. Beberapa bulan kemudian, sepulang dari kantor, saya terperanjat kaget, melihat kerumunan kucing di rumah berjumlah lima ekor. “Ibumu, ngadopsi tiga kucing lagi dari tetangga” sergah bapak saya, ketika saya masih melongo melihat segerombol kucing di teras rumah saya. Alamak..

 

Rumahijau, 2021   

 

 

 

You Might Also Like

0 komentar

Sederhanalah Sejak dalam Pikiran!

Malam itu, aku sempat bertanya pada ibu "apakah ibu dan bapak menginginkan dicarikan mobil untuk a...

Popular Posts

Like us on Facebook

Flickr Images