Aku
baru saja selesai membaca ulasan sebuah buku berjudul David and Goliath: Underdog, Misfits,
And the Art Of Battling Giant. Sebenarnya aku ingin membaca
secara utuh isi dari buku ini, langsung dari bukunya. Tapi untuk membeli bukunya,
nampaknya aku harus menukarnya dengan jatah makan dan ngopi, dan bulan ini
bukan waktu yang tepat untuk acara tukar-menukar apapun. Badanku butuh energi
makro, logikaku butuh logistik untuk menunjang tugas akhir perkuliahan. Tapi
sudahlah, kita tidak sedang membahas tentang dilema dan paradox seperti ini.
Kita sedang membahas kisah yang besar, kisah yang bukan menye-menye. Oke jadi
kembali ke jantung pembahasan.
Buku
besutan Malcolm Gladwell ini bercerita mengenai bagaimana Paradigma dan dunia
bekerja. Aku menyukai ulasan buku ini, sebab sepertinya buku ini akan melawan
paradigma dan stereotip yang berkembang di masyarakat. Dan, aku lebih suka
perlawanan dari pada hanyut terbawa arus.
Pada
salah satu ceritanya Gladwell memberikan pandangan yang berbeda atas kemenangan
Daud (seorang gembala bertubuh kecil) melawan Goliath (sang pendekar raksasa
ulung dari Filistin). Menurup konsep masyarakat umum Daud ialah tipikal orang
yang diluputi dengan berbagai macam kekurangan jika dibandingkan dengan Goliath
(lawannya) . pertama, tubuhnya kecil. Kedua, Daud tidak memiliki
kelengkapan untuk bertempur. Ketiga, pengalaman berperang Daud miskin
maksimal alias Nihil. Coba bandingkan dengan Goliath, menurut konsep masyarakat
ia memiliki berbagai keunggulan. Dia adalah
seorang raksasa yang kuat, kelengkapan perangnya sungguh mumpuni untuk
berduel dengan siapapun. Belum lagi pengalaman berperangnya tak terbantahkan.
Dengan fakta mencengangkan seperti itu, tak ayal membuat rakyat Israel tak ada
yang berani maju melawannya, kecual Daud.
Umumnya
masyarakat akan memandang kemenangan itu sebagai keajaiban, mukjizat, miracle. Tapi
tidak dengan Gladwell, sebab penulis selalu punya cara berpikir yang berbeda
untuk memandang dunia. Itulah sebabnya saya senang berdialog dengan
penulis, baik melalui perangai karyanya maupun dialog langsung dengannya.
Gladwell
memandang kemenangan Daud adalah sebuah kewajaran. Justru Daud yang dirundung
kekurangan memiliki keunggulan besar dibanding Goliath yang Ampuh mandra guna.
Sebab ternyata Goliath bertumbuh besar disebabkan karena kondisi yang tidak
normal didalam tubuhnya, dan ini berimbas pada penglihatannya yang kabur. Belum
lagi persenjataan yang lengkap justru malah mebuat Sang Goliath tak mampu bergerak
lincah. Hal ini yang kemudian menjadi celah besar yang disadari betul oleh
Daud. Sebab, Daud yang bertubuh kecil dan cungkring, tanpa persenjataan yang
memadai bisa bergerak lincah hingga menumpaskan Sang Raksasa yang katanya kuat
dan tak terkalahkan itu.
Dari
cerita ini aku teringat pada seorang teman yang baru aku temui beberapa hari
yang lalu. Ia seorang yang Tunanetra. Penglihatannya tak berfungsi sejak
mengalami kecelakaan ketika bermain layang-layang. Ketika ujung kepala
layang-layang itu menabrak matanya, penglihatanya menjadi kabur, dan lama
kelamaan syarafnya melemah, hingga membuatnya buta permanen. Begitu tuturnya.
Tapi
setelah mendapati cerita ini aku menjadi yakin, bahwa kekurangan adalah
kelebihan besar bagi beberapa orang yang sadar. Kisah ini nyata, aku
melihat sendiri, bahwa dia mampu menghafal ayat-ayat Al-Qur’an lebih cepat dari
orang yang normal penglihatannya. Ia Cuma mendengarkan satu kali, lalu mengulangi tiga kali, dan boom! hapal
seketika. Memang ini tak lepas dari kuasa Tuhan. Tapi di lain sisi, dalam
kehidupan, seperti cerita Gladwell, bahwa hidup yang dirundung kekurangan
justru menjadi persenjataan paling ampuh pada titik tertentu. Pandangan
Gladwell ini melawan paradigma masyarakat secara umum. mari kita lihat dari
contoh lain. misalnya, memilki keluarga yang utuh dan ayem tentrem, gemah
ripah lohjinawi adalah keberuntungan
paling beruntung dalam konsep keberuntungan masyarakat umum. sedangkan
dilahirkan dengan takdir keluarga yang broken home adalah kesialan
paling sial diantara konsep kesialan di mata masyarakat. Tapi coba kita putar
balikan konsep, kita tabrak konsep masyarakat, kita buat sendiri konsep yang
menguntungkan diri kita. agar tidak pesimis dan gampang rapuh. Bahwa
kekurangan apapun, pada suatu titik adalah persenjataan paling ampuh untuk
memengankan hidup yang diamanatkan Tuhan.
Tentu
tulisan ini bukan untuk mengatakan bahwa broken home itu baik, bahwa
kegagalan itu benar, bahwa keluarga utuh itu kesalahan. Bukan, benar-benar
bukan. Ketika dalam kondisi yang
normal-normal saja cobalah untuk tidak lengah seperti Goliath, yang jumawa akan
kelebihannya dan berakibat kekalahan yang fatal. Tetaplah bersyukur, dan cara
bersyukur yang paling tepat adalah meningkatkan kualitas diri, keluarga dan
cara berpikir. Ketika dalam kondisi yang dirundung pilu, seperti diliputi
kekurangan, keluarga yang berantakan, tubuh yang cacat secara fisik, kegemukan,
kekurusan, hidup yang terombang-ambing, hubungan yang kandas ditengah jalan,
atau apaun yang umumnya masyarakat memandangnya sebagai kekurangan, maka
cobalah tetap dengan semangat membara seperti Daud. Menghadapi apapun dengan
keberanian. Hingga kita menemukan
titik dimana kekeurangan itu malah menjadi persenjataan ampuh untuk memutar
balikan kekalahan.
~ Wasis Zagara
29/1/2020