Membumikan Cerita, Melangitkan Harapan!

Desember 26, 2021


 

            Gandhini mengirimi saya pesan singkat melalui peranti whatsapp Tepat di saat gundah gulana melanda negeri ini, karena datangnya sebuah wabah yang  tidak pernah dinyana-nyana. Ya, wabah itu terjadi karena kemunculan satu virus bernama Korona.  Ia datang membawa segala  ancaman yang membuat manusia di berbagai belahan dunia cemas dan tak tau mau berbuat apa. Begitu pula Gandhini. ia sempat mencemaskan hendak membuat program apa untuk kegiatan KPM-DR (Kuliah Pengabdian Masyarakat Dari Rumah).

            Gandhini mengungkapkan kebingungannya dalam menentukan kegiatan, sedang semua harus dilakukan tanpa pertemuan langsung, atau setidaknya menjaga jarak dan mematuhi protokol kesehatan. Tentu ini sebuah tantangan, sebab sebelumnya agenda kuliah pengabdian masyarakat biasanya dilakukan dengan kelompok besar, pertemuan langsung dan animo masyarakat. Tapi saat ini semua berbanding terbalik.

            Sebagai orang yang dimintai saran, maka saya memberi usulan kepada Gandhini berdasarkan pengalaman yang saya punya. Dulu ketika saya diberi mandat dari kampus untuk melaksanakan kuliah pengabdian masyarakat, saya memilih “Rumah Baca” sebagai program unggulan di bidang pendidikan. Tapi program itu tak akan berjalan jika pegiatnya tidak menyukai literasi. Namun, saya tau Gandhini telah lama menaruh perhatian di dunia literasi, dan itu tandanya dia akan melakukan program kegiatan itu sepenuh hati.

            Akhirnya program “Rumah Baca” yang dulu pernah saya dan teman-teman kampus lakukan diadopsi oleh Gandhini. Ia sedikit momodifikasi sebutannya menjadi  “Gerakan Majlis” (Mari Membaca dan Menulis).  Setelah itu ia yang melakukan semuanya. Saya tak melakukan apa-apa, selain usulan dan usulan.  Usulan saya pun sebenarnya tak terlalu muluk-muluk; “Yang penting anak-anak mau menulis, bercerita dan gembira dalam semua prosesnya, itu saja.”

            Beberapa minggu program itu berjalan, dan saya sebenarnya tidak berkontribusi apa-apa, selain mencoba meniti peran menjadi  “teman bicara yang baik”. Dan, itu sama sekali tidak perlu mengerutkan dahi, menguras kalori, mengeringkan dompet, juga tak sedikitpun membuat tubuh berkeringat. Hehuehuehueheu. “naskahnya sudah siap, mas.” kata Gandhini. Dalam hitungan minggu output dari program yang sudah direncanakan itu selesai. Satu naskah buku telah siap diterbitkan. Saya pun dibuat terkesima mendapati antusias dan kegembiraan anak-anak dalam mencipta karya berbentuk tulisan.

            Dari awal proses penulisan naskah, Gandhini kerap mengabarkan dan mengirimkan foto anak-anak yang sedang bergiat untuk berkarya. Keseriusan dan Keceriaan pun terpancar dari raut wajah mereka; ada yang seperti filsuf yunani-- duduk menyendiri, bersandar di tembok dengan membawa kertas dan pulpen , ada yang melakukan ritual khusus sebelum menulis—seperti mendengarkan musik sambil joget-joget ceria,  ngemil ciki-ciki, berswafoto dan bernarsis ria, ada pula yang sambil selonjoran, tiduran, bahkan berguling-guling. Heuheuehue. satu lagi yang terpenting, kata Gandhini; “semua bergembira dalam setiap prosesnya”.  Dan, itu berarti usulan saya diterima.

            Meskipun di sisi lain saya menyadari betul, tulisan yang ada dalam naskah tersebut tak menyajikan sebuah tulisan tentang pemikiran yang visioner, logika dan analisis yang benar. Namun, ya seperti anak-anak pada umumnya, tulisan anak kecil dan remaja itu memiliki kekuatan yang khas tersendiri. Bisa kita lihat tulisan yang tersaji dalam buku ini--autentik, apa adanya, lucu sekaligus menggemaskan. Itulah keistimewaan imajinasi anak kecil, dan belum tentu orang dewasa bisa melakukan sebaik itu.

            Tulisan anak-anak ini menyajikan serangkaian cerita. Tepatnya, curahan hati ditengah badai pandemi. Saya sendiri percaya bahwa cerita bisa menjadi alat pembejaran yang relevan untuk anak dan juga orang tua. Anak-anak akan lebih leluasa menjelaskan perasaannya melalui cerita yang ditulis, dari pada mengatakannya secara langsung dengan lisan. Pernyataan ini benar adanya, terbukti dari beberapa tulisan yang dibuat oleh anak-anak dalam naskah ini. Banyak di antara mereka menuliskan perasaan dan harapannya kepada orang tua, kakak, adik dan teman-temannya—ada yang mengungkapkan kerinduan kepada ibunya yang tak bisa pulang, ayahnya yang sudah tidak di dunia, rasa sayang adik kepada kakaknya, juga harapan-harapan pada orang sekelilingnya. Semua tulisan itu terlihat tulus, tidak ada paksaan, pun rasa sungkan untuk menuliskan. Semua tulisan terkesan alamiah, lugu, polos dan menggemaskan. Sungguh, bila saya berada di posisi orang tuanya, perasaan haru itu akan bergemuruh dan menghujani dada.

            Pada suatu kesempatan, saya membayangkan, Ketika  nanti menjadi orang tua, saya juga ingin meminta anak-anak untuk mengirimkan surat kepada saya. Surat itu berisikan ungkapan apa saja yang ingin mereka sampaikan kepada saya,  dan selama ini ada dalam benak mereka. Sehingga saya tahu apa yang sedang mereka pikirkan atau rasakan. Dan, saya akan membalas surat itu dengan ketulusan, kelembutan, serta berempati terhadap apa yang sudah mereka ceritakan. Saya ingin menjadi tempat pertama mereka bercerita tentang apapun, tanpa takut dibentak-bentak atau takut tidak diberi uang jajan. Barangkali berbagi cerita menjadi bentuk komunikasi yang sehat antara orang tua dan anaknya. Karena membentak dan menasihatinya secara terus menerus justru akan membuat anak merasa terancam, jika tidak diimbangi dengan “usaha untuk mengerti terlebih dahulu”. Stephen R. Covey, penulis The 7 Habits of Highly Effective People yang juga merupakan salah satu orang yang terpilih  sebagai “sepuluh terbaik sumber daya” oleh Young Presidents’ Organization, mengatakan; “Prinsip paling penting dalam setiap hubungan antarpribadi adalah: Berusaha mengerti terlebih dahulu, baru dimengerti. Prinsip ini adalah kunci komunikasi antarpribadi yang efektif.” Maka dari itu, saya pikir saling mengirim surat berisikan cerita atau perasaan sangat membantu memupuk keharmonisan orang tua dan anaknya. Dan, nampaknya ini disadari betul oleh Presiden Amerika Serikat ke-44 yakni Barack Obama, beliau juga mengirim surat untuk kedua putrinya; Malia dan Natasha.

            Pada sesi akhir kata pengantar ini, saya ucapkan selamat kepada Gandhini, atas keteguhan dan kesabarannya, ia telah berhasil mengumpulkan seluruh tulisan ini menjadi satu naskah yang telah siap diterbitkan. Satu naskah yang akan menjadi penanda sejarah awal mula mereka (Anggota Gerakan Majlis) berkarya. Satu naskah yang menjadi pembuktian, bahwa setiap perjuangan tidak pernah mengenal kata “sia-sia”. Satu naskah yang mengembalikan kita kepada lingkaran kesadaran-- bahwa berkarya dan berbagi akan membuat manusia lebih hidup, dan hidup akan lebih manusiawi. 


            Perasaan haru dan rasa bangga juga tak lupa saya haturkan kepada adik-adik yang menggiatkan diri  dalam Gerakan Majlis. Satu pesan yang ingin saya bagikan, dulu ketika kakek saya masih ada di dunia, ia selalu mengatakan seperti ini: “Dalam kehidupan, anggaplah kita hanya mempunyai satu hari, yaitu hari ini. Tidak pernah ada hari esok atau hari yang lalu. jadi tak usah menunggu nanti, atau menunggu  suatu hari untuk melakukan sesuatu (berkarya). Lakukan sekarang juga! maka tak akan ada penyesalan di hari yang akan datang”. Terakhir  Selamat untuk kalian—adik-adikku yang selalu menggemaskan. Kalian sudah mungukir sejarah dari kampung halaman, “Teruslah belajar dan berkarya, Manisku!,” Suatu hari nanti, kalian akan cemerlang atas karya-karya yang berhasil kalian ciptakan. 

Ponorogo, 02 Juli 2020

Wasis Zagara 

 Sumber Gambar: Pixabay.com


 

 

                                                

               

 

 

You Might Also Like

0 komentar

Sederhanalah Sejak dalam Pikiran!

Malam itu, aku sempat bertanya pada ibu "apakah ibu dan bapak menginginkan dicarikan mobil untuk a...

Popular Posts

Like us on Facebook

Flickr Images