lebih penting mana, menjaga perasaan orang lain atau menjaga perasaan diri sendiri?

November 12, 2019




Kali ini aku ingin bercerita tentang suatu hal. Sebuah perkara sepele yang  kemungkinan diketahui, tapi tidak disadari oleh orang banyak. Ingat kata kuncinya “diketahui tapi tidak disadari” seperti ini jalan ceritanya:
Dulu ketika usiaku masih belia, ibu selalu mengajari untuk senantiasa menjaga perasaan orang lain dengan “makanan dan mainan” . ya hanya dengan “makanan dan mainan”, sebegitu sepelenya memang.  Singkatnya ibu selalu berkata seperti ini:
 le kalau makan jangan di luar rumah, kecuali makanan itu berniat kamu bagikan ke teman dan tetanggamu”.
 begitu pula saat aku baru membeli mainan, ibu selalu melarangku menggunakan mainan itu di depan rumah. Padahal saat itu aku juga seperti bocil-bocil lainnya, yang selalu ingin memamerkan mainan-mainan yang baru dibeli. Semacam ada kebanggaan tersendiri ketika  tak pernah ketinggalan membeli mainan keluaran terbaru yang biasanya tersiar di TV
                Dulu ibu paham betul, bahwa rumah kami terletak saling berhadap-hadapan dengan rumah tetangga. Jadi apapun aktivitas yang kami lakukan di depan rumah, sengaja maupun tak sengaja pasti akan diketahui oleh tetangga.  Ya, Tetangga selalu punya otoritas untuk melihat dan menilai stiap aktivitas yang dilakukan di luar rumah.
                Ketika aku Tanya alasan ibu kenapa melarangku, ibu selalu menjawab seperti ini: “le ketika mereka tahu kamu memakan makanan yang tidak bisa mereka makan, dan sebenarnya mereka menginginkan, mereka akan merasa nelongso (merasa tak beruntung). Kecuali kamu berniat membagikannya, itu tidak apa-apa bahkan lebih baik.”
“Pun begitu pula saat kamu menunggangi mainan barumu diluar rumah, dan mereka melihatnya, bisa saja mereka merasa nelongso, karena tak bisa mempunyai atau membeli mainanmu sepertimu, kecuali kamu berniat untuk memainkannya bersama”
Dulu aku tak paham betul apa maksud ibu. pahamku dia hanya banyak melarang. dan anak kecil tak suka sebuah larangan. Dan sebaliknya orang dewasa tak suka jika larangannya dilanggar. Ya hanya itu yang membuat perdebatan berkepanjangan antara si anak kecil dan orang dewasa.
Namun seiring  beranjak dewasa, kalimat itu tiba-tiba saja muncul ketika aku mendapati diri ini berada di dunia  virtual seperti sekarang. Apa-apa serba digital, Dan yang digital serba apa-apa. Aku sempat berpikir dua kali, atau mungkin lebih, ketika aku melihat apa saja aktivitas yang dilakukan di dunia medsos. Sebab apa-apa yang dilakukan di medsos selalu bertentangan dengan perintah ibu dan masa kecilku.
Kegelisahanku berawal dari permenungan ini:
 aku menyimpan banyak nomor di peranti Whatsapp. Tentu nomor yang kusimpan itu adalah orang-orang yang selama ini kukenal dalam kehidupan nyata, bukan maya. Dari mulai saudara,  kerabat, tetangga , teman kuliah, sahabat masa kecil, kawan kuliah, mitra bisnis, rekan organisasi, sejawat pondok, teman diskusi dan lainnya.
Mereka yang nomornya ku simpan di peranti Whatsapp , rata-rata pasti akan melihat aktivitas yang kuunggah dalam fitur ”story”. Inilah yang kupermasalahkan. Inilah yang tadi membuatku berpikir dua kali berturut-turut, atau tiga kali berangsur-angsur. Aku akan maju mundur, gojak gajek ketika berhadapan dengan fitur “story’’ ini.
Tak jarang gambar yang sudah kusiapkan tak jadi ku posting, tak jarang tulisan yang sudah  jadi kuurungkan untuk diunggah, tak jarang pula aktivitas yang sebenarnya ingin kutunjukan ke oranglain , tak jadi kuperlihatkan di fitur “story” ini. Permenungan seperti ini juga terjadi ketika aku ingin memposting apapun di media sosial lainnya, seperti di dinding FB maupun Story IG.
Mungkin kalian Akan berpikir, ini tentang sikap keragu-raguan, atau sikap takut dengan komentar netizen, Atau sikap jaim. Hei bukan, siapa yang punya kekhawatiran sereceh itu?
Jadi begini…
Kalian masih ingat kalimat pertama ibuku. Entah itu menjadi doktrin atau memang itu ajaran kebaikan, yang diamini dalam hati, aku tak tau. Tapi yang jelas aku merasa terdoktrin “senantiasa Menjaga Perasaan Orang Lain”. ketika aku berniat mengunggah gambar, video atau tulisan. kepalaku merasa terngiang-ngiang kalimat ibu, seolah ibu berada dibelakang, berdiri, dan mengucapkan:
le ketika mereka tahu kamu memakan makanan yang tidak bisa mereka makan, pakaian yang tidak bisa mereka beli, kendaraan yang tidak bisa mereka pakai, keluarga lengkap yang masih kamu punyai,segepok uang yang tidak bisa mereka dapatkan dan sebenarnya mereka juga menginginkan itu semua, mereka akan merasa nelongso (merasa tak beruntung). Kecuali kamu berniat membaginya, itu tidak apa-apa bahkan lebih baik.”
Kemudian bayangan bapak dengan nada sedikit meledek seolah-olah juga ikut berdiri dan berkata dengan nada ngece:
’’toh apa gunanya juga kamu memposting makanan enak, barang baru, pakaian baru, gedged baru, kendaraan baru, pasangan baru. Apa manfaatnya buat mereka yang melihat postingan statusmu itu? Itu sama sekali tak menghibur, tidak membuat bijak, tak membuat kaya, tak membuat orang jadi lebih sholih, tak membuat orang jadi lebih bahagia, tak memberi inspirasi apapun kepada orang”
Atas doktrin itulah aku merasa bahwa update status bukanlah perkara yang sepele dan mudah. aku perlu berpikir panjang, agar itu tidak membuat orang yang melihatnya merasa ”nelongso” , tak membuat orang tersinggung, tak membuat orang merasa menjadi manusia yang serba kekurangan, tak membuat orang merasa bodoh.
Mungkin sebagian pembaca akan berpikir bahwa “itu kan urusan mereka, itu kan tergantung bagaimana mereka meyikapinya,kalau gampang nelongso ya ga usah medsos-medsos an, yang penting kan kita bisa bahagia dengan yang kita lakukan, ini kan HP kita, status kita, dan postingan kita, hidup kita,mengapa harus mereka yang repot, mengapa harus dipermasalahkan, mengapa harus dibesar-besarkan. 
Kalau memang punya pemikiran seperti itu, tidak apa-apa. Setiap orang berkuasa atas pikirannya sendiri. Setiap orang punya cara pandangnya masing-masing untuk memandang dunianya sendiri.  Tapi tawaran dariku, seperti yang saya kutib di  buku NKCTHI bahwa “di dunia yang sekeras ini, orang yang menyempatkan diri perduli kepada orang lain, akan selalu menarik perhatian”
Lalu apa yang bisa kita simpulkan dari tulisan ini? Apakah memang perlu menjaga etika sampai segitunya di media sosial? Apakah media sosial memang tempat untuk berpamer-pamer ria? Lalu seperti apa harusnya sikap kita di media sosial?
Aku tak bisa dan tak berminat menjawab semua pertanyaan itu.  Aku harap ada pelajaran fiqh media sosial setelah ini. Biar kita tau mana batasan mana kewajaran.
Lalu para bucin mengakhiri pertanyaannya dengan kata seperti ini:
“Lebih penting mana? Menjaga perasaan orang lain atau menjaga perasaan diri sendiri?”



PONOROGO, 12/11/2019
WASIS ZAGARA 

You Might Also Like

0 komentar

Sederhanalah Sejak dalam Pikiran!

Malam itu, aku sempat bertanya pada ibu "apakah ibu dan bapak menginginkan dicarikan mobil untuk a...

Popular Posts

Like us on Facebook

Flickr Images