Menggagas Minke-Minke Masa Depan

Februari 01, 2021


  Satu hari setelah peringatan kemerdekaan itu dirayakan oleh seluruh warga +62, di Kota Madiun, tepatnya di Mucoffee diadakanlah acara nonton bareng (nobar) Film Bumi Manusia. Saya mendapati informasi itu dari salah seorang teman komunitas.  Sebenarnya, Saya sudah lama ingin nonton film ini. Sayangnya, dulu ketika film ini baru dirilis dan tayang di seluruh bioskop Indonesia, saya tak sempat menontonnya, karena kesibukan rutinitas dan kesepian finansial.  

   Maka ketika mendengar akan diadakannya pemutaran Film Bumi Manusia di Madiun, saya sangat antusias. Dan, kebetulan komunitas kami—Sastra Langit Malam ternyata juga diundang oleh Gus Hayyik—penggagas acara Nobar dan diskusi Film Bumi Manusia, untuk menjadi perwakilan komunitas sastra dari Ponorogo.

Lain dari itu, sudah lama saya mengidolakan sosok Minke. Tokoh “fiktif” ini telah saya telusuri keberadannya sejak lama, melalui penciptanya sendiri—Eyang Pramoedya Anata Toer, maupun dari eksplorasi beberapa jurnal dan tulisan. Dan, saya pikir dalam acara nobar tersebut, saya bisa bertemu dengan teman-teman baru yang juga mengidolakan Minke. Atau, setidaknya mengidolakan Eyang Pram sendiri selaku penciptanya. Jika pun tidak, mungkin saya bisa bertemu dengan orang-orang yang menggemari karya sastra maupun ilmu pengetahuan.  Atau, kemungkinan paling buruk –tapi sedikit lebih baik—saya bisa bertemu dengan sekawanan manusia jomblo yang menyibukan diri menghadiri acara demi acara, agar kesepian tak menguburnya hidup-hidup.

Ada beberapa hal, yang saya kagumi dari sosok Minke. Ya, meskipun sebagai tokoh fiktif, Minke saya rasa tepat bila dijadikan role figur untuk kaum muda, atau sebutlah kaum milenial. Selain tampan, kaya, dan berpenampilan menarik, sebenarnya Minke lebih dari semua yang terlihat itu. Ia-lah murid yang akan mengacungkan tangan pertama kali ketika sang guru menawarkan semua muridnya untuk berpendapat, ia lah manusia yang batinnya selalu berkecamuk saat melihat ketidaksetaraan, ia lah manusia yang akan mengepalkan tangan kepada para penindas yang semena-mena, Ia akan rela menjual semua kekayaannya bila diperlukan, untuk sebuah ilmu pengetahuan dan martabat.

Kecintaan Minke pada pengetahuan membuatnya gandrung membaca dan bergairah dalam menulis. Kebiasaan membaca dan menulis itu membuat Minke berpikir kritis dan visioner. Dan, dengan otak yang brilian, bukan tidak mungkin ia bisa menjadi siswa nomer satu di Hoogere Burger school (HBS)—sekolah untuk orang Belanda, Eropa, Tionghoa dan elite pribumi di zaman itu. Dari awal masuk HBS sampai tamat sekolah, Minke bisa menyaingi pemikiran-pemikiran “orang Barat,”  yang katanya lebih modern, dibanding pemikiran anak pribumi yang menurut mereka kolot. Minke berhasil membantah mitos itu.

Sosok Minke, dengan segala kecakapan literasinya, mimilih sekolah di HBS sebagai penunjang pembelajarannya, meskipun ia tahu sebagian besar siswa dari sekolah itu bukan orang pribumi. Hanya pribumi kolongmeratlah yang bisa sekolah di situ. Itu pun masih dianggap sebelah mata oleh kaum Eropa.  Namun, kiranya itu tak terlalu dipermasalahkan Minke. Ia tahu betul, bahwa sekolah yang baik ialah yang mampu membuat siswa mengembangkan pemikirannya dan membuat siswanya menjadi pembelajar yang kompeten. Persetan soal sekolah itu milik Belanda atau Indonesia, Barat atau timur, swasta atau negeri, yang terpenting adalah capaian dan esensi belajarnya.

Menilik Pendidikan di Indonesia saat ini, barangkali tidak lagi seperti anggapan Minke yang mengutamakan “esensi belajar”. Para siswa hanya dibentuk menjadi pelajar bukan pembelajar. Pelajar hanya sebutan anak yang sedang mengenyam pendidikan di sekolah. Kiatnya hanya sebagai rutinitas, dan out put-nya ijazah dan mendapat pekerjaan—itu pun jika beruntung. Sedang siswa harusnya jadi pembelajar, seperti sosok minke; cinta pada ilmu pengetahuan, gandrung membaca, dan berpikir kritis merupakan prasyarat utama seorang pembelajar. Kiatnya adalah progres, sedang out put nya adalah karya.

Kita akan mendapati fakta bahwa begitu para siswa lebih betah memelototi gawai semalam suntuk, ketimbang membaca buku satu jam. Dan, saya percaya bahwa bacaan di satu sisi mengirim informasi, di sisi lain akan melatih seseorang mempunyai alur berpikir yang runtut. Cara berpikir yang jernih dan logis selalu didapat dari proses membaca yang baik., sebagaimana yang dilakukan Minke, eyang Pram, Bung Karno, Bill Gates, Obama, Muhammad Al-Ghazali, dan para pembelajar lainnya.

Lalu apa jadinya jika siswa bukan pembelajar? Juga bukan pembaca buku? Saya mencoba untuk tetap berprasangka baik perihal jawaban atas pertanyaan ini. Akan tetapi, penting untuk selalu kita sadari, bahwa kurangnya informasi, kurangnya kemampuan berpikir runtut dan jernih akan sangat riskan. Seseorang yang demikian akan lebih mudah meledakan emosinya di mana pun--ketika mendapati hal-hal yang tidak sepaham dengannya. Caci maki di dunia nyata maupun media sosial akan dengan mudahnya meluncur bak meteor, seperti yang terlihat sekarang ini.  Orang akan cenderung melihat informasi secara instan, tanpa diolah, dan buru-buru berkomentar atas apa yang ia dengar. 

Seorang siswa pembelajar dan pembaca buku tidak demikian. Ia akan menerima informasi sebagai data, kemudian mengolahnya dan mengeluarkannya dalam bentuk yang utuh sebagai sebuah pemahaman. Maka pembaca buku ulung, biasanya—bukan pasti, ia akan lebih bisa menerima, merespon pemikiran atau pemahaman yang berbeda satu sama lain. Dan, itulah pembelajar sejati; berpikir mendalam, berhati, lapang dan bergerak dinamis dari waktu ke waktu—seperti Minke, seperti Eyang Pram. []


Kedai Lembayung, 23 Agustus 2020 

Wasis Zagara


 


You Might Also Like

1 komentar

  1. yang agung itu pesannya , seperti bahtera samudera luasnya ...
    Ntaappppp.....

    BalasHapus

Sederhanalah Sejak dalam Pikiran!

Malam itu, aku sempat bertanya pada ibu "apakah ibu dan bapak menginginkan dicarikan mobil untuk a...

Popular Posts

Like us on Facebook

Flickr Images