Berbicara Tentang Logika Tanpa Logika

Januari 27, 2021


    
   

    Ini sebenarnya tulisan yang berangkat dari permintaan seorang teman. "Buat tulisan tentang cinta ya, mas! begitu tuturnya. Kendati ia tau betul, bahwa saya untuk mengucapkan kata “cinta” saja masih terbata-bata. Lidah saya masih serasa terkilir kalau disuruh mengeja kata “cinta”. Itu terdengar naïf, tapi begitulah adanya.

Pengalaman yang minim membuat saya sebenarnya tidak punya kapasitas yang mumpuni untuk ngomong soal percintaan. Ini ibarat menyuruh  seorang arsitek berbicara mengenai sistem kerja otak panda. Atau menyuruh pemain sepak bola berkomentar tentang bagaimana melatih lumba-lumba agar sigap mencium jidat pelatihnya, hanya dengan kode; satu  tepukan dipermukaan air.

Terlepas dari itu, sebenarnya setiap orang mempunyai pemikirannya sendiri soal cinta. Tidak pernah ada yang benar-benar valid. Pun tidak ada juga yang benar-benar ngawur. Semua orang bebas memaknai cinta itu seperti apa. Bahkan seekor panda dan lumba-lumba pun—bila mereka ingin dan bisa bicara, sah-sah saja berpendapat tentang makna  cinta.

Baiklah, karena saya tergolong manusia, dan nenek moyang saya bukan seekor panda atau lumba-lumba, maka, saya juga berhak berpendapat tentang makna cinta.

Konon, cinta itu bisa membuat satu orang laki-laki berani membakar seluruh isi kota, demi membuktikan rasa cinta pada salah seorang gadis desa. seorang perempuan rela menyendiri, tak menikah, sebelum laki-laki pujaan hatinya pulang dari pelayaran, bahkan sampai perempuan yang seumuran dengannya sudah punya cucu 12. Meskipun ia begitu paham bahwa laki-laki itu bisa saja diganyang badai, dikunyah ombak, atau bisa jadi  sudah bertemu permasyuri di laut selatan yang menarik hatinya. Dan, itu berarti dia tak mungkin kembali. tetapi, cinta menjadi alasan perempuan itu untuk bertahan hidup sendiri.

Saya tidak bisa memastikan cerita yang saya dengar  itu fiksi atau nyata. Cerita fiksi memang sering kali menyajikan kisah-kisah cinta yang heroik. Kisah nyata pun tak sedikit yang menampilkan kisah cinta bisa tak sampai di logika. Baik fiksi atau pun nonfiksi, keduanya sama-sama meng-iya-kan bahwa cinta bisa dijadikan alasan untuk memegang bara api, dan mengelus-elusnya seperti mengelus bulu  kelinci—tanpa pernah merasa panas dan kesakitan.

Saya pun sama seperti anda, beranggapan bahwa cerita itu terdengar cukup bodoh. Anda mengira bahwa yang dilakukan orang-orang dalam cerita itu sia-sia belaka. Tak masuk akal alias Tak ada logika. 

Sebenarnya saya baru saja mendapat ilham, atau katakanlah ini semacam wangsit. Seseorang--  yang entah siapa, sedang membisikan di kuping telinga saya. Dan, saya secara terburu-buru mengetik apa yang ia ucapkan, seperti ini ucapnya; “logika akal dan logika cinta itu berbeda. Logika akal itu bergerak berdasarkan realitas dan pengalaman, sedang logika cinta bergerak berdasarkan rasa dan keyakinan.”

Seorang pembisik—yang entah siapa itu. Tidak memberi penjelasan apapun terkait dengan yang ia katakan. Tapi sebagai penulis esai ini, saya pun mau tidak mau harus mencari tahu maksud dari wangsit itu. Dan, menjelaskan kepada anda. Mungkin begini-- Jika dikatakan cinta itu tanpa logika saya tidak setuju. Jika anda bertanya “dasarnya apa?” maka jawaban yang paling tepat dan tidak bisa dibantah adalah “wangsit” itu. Anda tahu wangsit adalah pengalaman spiritual setiap individu. Dan, selayaknya hal-hal spritual individu, hal itu tidak  bisa dibantah oleh individu lain. Halah..

Bukannya cinta itu tidak ada logika, tetapi cinta itu memiliki logikanya sendiri. Anda bisa melihat seorang kakek yang sedang menimang cucunya berumur empat belas bulan. Ia duduk dengan wajah sumringah sembari mengangkat-angkat tubuh anaknya yang mungil ke angkasa. Setiba itu cucunya kencing tepat mengenai wajah si kakek. Bukannya marah, Wajah sang kakek malah sumringah, bahkan tertawa kecil. Seolah itu lelucon dari bayi mungil berliur dan tak berdosa itu untuknya. Itulah cinta.

Logikanya air seni adalah perpaduan antara unsur najis, kotor dan tempat bermukim berbagai jenis bakteri. Mengenai pakaian saja sudah menjijikan, apalagi mengenai wajah. Logikanya sang kakek akan marah dan dengan otot yang masih kuat, ia bisa saja membanting cucunya ke lantai. Tapi logika cinta berkata lain. Sang kakek merasa cinta kepada cucunya lebih besar dibanding benda najis yang mengenai wajahnya.

Tentu saya tidak menyarankan untuk mengikuti logika cinta yang brutal, seperti membakar kota atau menunggu kekasih ratusan tahun, juga bukan menyemprotkan benda najis ke wajah—dengan mengatasnamakan “cinta”. Saya Cuma ingin mengatakan bahwa logika cinta itu tidak sama dengan logika realitas. Saya sering mendengar seseorang memberi nasehat seperti para dewa "kenapa kau bisa menaruh hati pada orang blangsak seperti itu, dimana logikamu?" Dan, Agnes Mo tiba-tiba muncul dengan tarian yang menjadi ciri khasnya selama ini, sembari menyanyikan bait lagu; "cinta ini kadang-kadang tak ada logika". 

        wangsit itu benar-benar berlaku, bahwa cinta itu punya logikanya sendiri, yakni logika berdasar pada rasa & keyakinan setiap individu. Seperti kakek yang rela dikencingi cucunya, Ibu yang rela menghentikan napas untuk melahirkan anaknya, seperti cinta hamba kepada Tuhannya yang tak terlihat oleh kasat mata, kecuali dengan rasa dan keyakinan. Lalu, masihkah kita layak untuk  bertanya "logikanya dimana?"

 

Wasis.zagara

Ponorogo, Pondok Romansa

27/01/21


 

 

 

You Might Also Like

0 komentar

Sederhanalah Sejak dalam Pikiran!

Malam itu, aku sempat bertanya pada ibu "apakah ibu dan bapak menginginkan dicarikan mobil untuk a...

Popular Posts

Like us on Facebook

Flickr Images