Titik Awal dan Akhir Sebuah Pertemanan

September 23, 2020

 


Kertas putih itu tertempel di salah satu sisi dinding pengumuman. Nama yang terpampang di kertas itu sebagian besar saya kenal, sebagian yang lain terlihat asing. Saya telusuri deret nama itu dari atas sampai bawah. nama saya tertulis di baris bagian bawah-- sesuai urutan abjad. Dan, di atasnya berderet nama-nama yang selama ini menghiasi masa muda saya. 

Ada suatu kebanggaan dan kelegaan  tersendiri, ketika mendapati nama saya dan teman-teman saya telah tercantum  dalam daftar peserta wisuda  tahun ini. “akhirnya” gumam saya. Kebahagiaan itu berlanjut ketika kami sama-sama berjumpa dan  saling mengucapkan “selamat” atas keberhasilan-- melewati salah satu fase di kehidupan.

Hari itu kami rayakan dengan nongkrong santai sembari “haha hihi” , makan, dan flash back berbagai hal yang sudah kami lewati semasa duduk di bangku perkuliahan. Kelegaan itu terpancar dari rona wajah yang sumringah. Seolah-olah telah luruh sepersekian persen beban yang selama ini menindih pundak kita.  Kemudian kami bergantian pergi. Satu per satu beranjak sambil  berseloroh; “sukses ya dan selamat berjumpa di lain hari.” Lalu hidup kosong lagi. Kita pergi membawa kekosongan masing-masing.

Dalam hati saya bergumam; benarkah istilah bahwa “kita berada dalam satu siklus, akhir ialah awal dari sesuatu, dan, awal ialah akhir dari sesuatu.” Jika pun benar, itu artinya kita bergerak dari suatu titik dan kembali pada titik awal lagi. Jika pun demikian itu artinya kita yang semula tidak saling mengenal, kemudian saling kenal satu sama lain, akrab, saling membutuhkan, tidak bisa terpisahkan, dan, berakhir pada suatu titik tidak saling mengenal lagi? Benarkah?

Satu dua bulan berjalan kita sama-sama mengisi kekosongan—menjalani aktifitas-aktifitas baru. Dan, sesekali saling bertukar kabar atau pun jikalau sempat, kita merencanakan pertemuan-pertemuan kecil, tapi tentu intensitasnya berkurang. Sampai pada suatu titik kita sama-sama tidak mempunyai  waktu untuk sekadar menanyakan kabar. Apalagi untuk tatap muka, meskipun hanya sekelebat kedipan mata.

Beberapa teman, yang barangkali sudah kelewat rindu, mengirim pesan di grub Whatsapp-- berisi ajakan untuk mengagendakan pertemuan lagi . Ya sekadar untuk temu kangen, dan bernostalgia masa-masa perkuliahan yang tak mungkin bisa diulang. Beberapa diantaranya merespon secara tanggap. Beberapa yang lain memilih diam tak mengetikan satu huruf pun di gawai kesayangannya. Sehingga rencana hanya jadi wacana. Pertemuan yang diagendakan berakhir “none sense.”

Atas siklus pertemanan yang terjadi itu, saya berikeras untuk tidak berprasangka buruk. Barangkali kita harus menyadari betul, bahwa setelah fase menjadi mahasiswa selesai, kita akan menghadapi fase lain yang pasti sangat berbeda, sesuai prioritas hidup yang diputuskan—ada yang memilih bekerja, menganggur, menikah, menjadi aktifis instagram, relawan desa, relawan mertua, pecinta alam, pecinta drakor, pengabdi di sebuah lembaga, pengabdi setan, ultramen, hokage,  dan apapun itu. Yang, atas nama semua aktifitas baru itu membuat waktu selow kita berbeda dengan waktu selow teman-teman semasa kuliah dulu.

Siklus pertemanan memang selalu begitu. Tengok, seberapa banyak teman yang sudah kita  kenal sejak menginjak usia sekolah dasar, lalu bertambah banyak ketika memasuki jenjang pendidikan SMP, kemudian SMA. Berapa banyak teman yang sampai saat ini bisa tetap sama-sama dengan kita?  Seberapa banyak teman yang dulu nempel kuat dan hangat seperti koyok cap cabai dan sekarang anyep jejet sebab tak lagi saling menghubungi? Begitulah siklusnya. Kendati demikian, pasti ada satu dua orang sahabat yang tetap bersama kita, karena mungkin rumahnya berdekatan dengan kediaman kita, atau mungkin karena  aktifitasnya sama dengan aktifitas yang kita kerjakan saban hari.

Dalam siklus hidup kerap kali saya mendengar  ungkapan bahwa  “semakin tua maka akan semakin berkurang teman kita.” Setuju tidak setuju fakta itu benar adanya. Namun, saya pun kembali ingin berprasangka baik, bahwa berkurangnya teman itu bukan karena kepergian mereka meninggalkan kita, akan tetapi, karena mereka ataupun saya bakal melewati fase hidup yang bermacam-macam. Dan, pasti pada setiap fasenya akan membawa prioritas dan konsekuensinya masing-masing. Saat kuliah bisa saja yang menjadi prioritas ialah agenda perkuliahan, pembelajaran, pencapaian dan semua  tetekbengeknya mahasiswa.  Fase seperti itu pertemanan dengan sesama mahasiswa begitu mudah dijalin. Sebab, masih pada frekuensi dan visi yang sama—diranah mahasiswa. Aktifitas kesehariannya pun tak jauh beda. Namun, akan berbeda ketika sudah berpindah fase menjadi eks-mahasiswa. Prioritas utamanya sudah lain dari sebelumnya. Jenis tanggung jawabnya sudah beragam. Ada yang prioritasnya menambah penghuni dompetnya, ada yang diberi  mandat mengalirkan susu untuk anak-anaknya, ada yang bertanggung jawab atas kebutuhan beras bapaknya, ada yang merawat mimpi-mimpi neneknya, ada yang diberi bertugas mengecup kening istrinya sebelum berangkat kerja, ada pegawai yang memukul-mukul keyboard komputer atas perintah manajernya dan lain pula sebagainya.

Tentu hal demikian akan membuat intensitas pertemuan tak semudah itu digiatkan. Perlu "Deal or no deal”   jauh-jauh hari sebelumnya. Tak semudah itu, menanyakan “posisi” lalu bersambut jawaban “gacoan yuk” dan berakhir dengan kata “otw,” benar-benar tidak semudah itu. Selayaknya akan hal itu kita bisa saling berprasangka baik. Bahwa teman kita tak benar-benar meninggalkan kita, melainkan mereka punya prioritas baru yang memang harus diprioritaskan, di fase mereka sekarang. Dan, tak ada yang bisa disalahkan dari siklus itu. Biarlah berjalan sebagaimana adanya. Yang, tak kalah penting bukan hanya sebarapa sering kita menjalin pertemuan, melainkan seberapa berkualitas setiap pertemuan yang kita upayakan.



You Might Also Like

0 komentar

Sederhanalah Sejak dalam Pikiran!

Malam itu, aku sempat bertanya pada ibu "apakah ibu dan bapak menginginkan dicarikan mobil untuk a...

Popular Posts

Like us on Facebook

Flickr Images