Penderitaan-Penderitaan Yang Membahagiakan

Agustus 17, 2020

 

“Membaca karya sastra tak ubahnya membaca nasib kita”

                Saya  tidak ingat betul kapan pertama kali saya mulai menggemari karya sastra. Dan, mungkin perihal “kapan” tidak penting juga untuk terlalu dipikirkan secara mendalam. Semenjak itu-- yang entah kapan, berkenalan dengan sastra membuat hidup saya lebih berwarna. Saya merasa mempunyai banyak teman di negeri “Antah Berantah” sana. Teman dengan kepribadian yang bermacam-macam, latar belakang sosial yang berbeda-beda, dan gaya berpikir yang variatif. Sebutan Teman yang saya maksud itu ialah berupa tokoh yang ada dalam sebuah cerita karya sastra. Mengkin ini terdengar  agak aneh. Tapi ayolah, “teman” tidak harus sesuatu yang berwujud manusia kan? Bukankah dari dulu kita terbiasa menganggap benda-benda mati selayaknya teman. Terbukti kita sering memperlakukan benda selayaknya  teman yang “hidup” dan enak diajak ngobrol atau menceracau ngalor ngidul, seperti; ketika kita mengajak bicara kucing, bertanya pada rumput yang bergoyang, meminta solusi pada langit, mengumpat dengan kata-kata kotor pada batu-- yang menggoreskan luka di  kaki, curhat pada ikan di aquarium, menyuruh tanaman hias agar cepat tumbuh dan membesar dan lain pula sebagainya. Seolah benda itu juga punya nyawa dan perasaan yang bisa memahami perasaan kita. Atau, setidaknya, bisa jadi pendengar yang baik. Bukankah itu berarti menganggap tokoh cerita dalam karya sastra selayaknya teman  itu sah-sah saja?

                Sebab, di sisi lain saya beranggapan bahwa menemukan teman yang senasip itu sedikit atau banyak bisa meredakan pikiran yang semula kacau. meskipun mungkin ya tidak akan merubah keadaan apapun, akan tetapi dengan bertemu dengan teman yang senasip, saya jadi merasa bukan satu-satunya orang yang menderita di muka bumi ini. Maka dari itu, ketika kemuraman hidup serasa mau meledak,atau hati sedang bermukim kepedihan-- seperti “tak punya uang” apalagi ditambah perut yang kampong, lelah dan menemui satu persatu kekecewaan, menjumpai berlipat-lipat kegelisahan,  maka menemukan teman yang senasip bisa mencegah  peledakan itu. Bukankah begitu?

                Ketika itu terjadi, saya biasanya akan mencari-cari cerita sastra yang jalan ceritanya memiliki kemiripan dengan nasib saya. dan, benar saja, saya merasa bahagia, merasa tak sendiri, merasa mereka—tokoh dalam cerita itu mempunyai nasib yang sama dengan saya, bahkan jauh lebih buruk, menyedihkan,menderita akut. Dan, saya membacanya bisa sambil cengegesan, seperti ingin bilang “kita sama bro, tapi lu lebih menyedihkan” dan,  ada sosok lain di pikiran saya mengatakan: “hidupmu tak sebegitu menderita jika dibanding mereka”.    Alhamdulillah,” gumam saya.

Salah satu cerpen yang membuat saya tersenyum, sekaligus mengucap “Alhamdulillah” beberapa kali adalah cerpen karya Agus Noor berjudul “perihal orang miskin yang bahagia,” misalnya.  Dalam cerita Kang Agus  sangat jelas menggambarkan tentang penderitaan sekeluarga yang miskinnya sampai  ke tulang. Namun, tokoh si miskin dalam cerita tersebut tak memiliki pandangan hidup yang sama dengan orang miskin pada umumnya. Kang Agus begitu piawai dalam mengemas cerita, seolah-olah ia ingin menggambarkan bahwa semiskin apapun hidup harus tetap di rayakan dengan kebahagiaan melebihi orang kaya. Saya tergelitik setiap kali mendapati alur cerita dan pandangan hidup yang out the box. Dan, cukuplah di setiap pergantian paragraf mampu membuat saya tergelak beberapa kali, dibarengi ucapan “Alhamdulillah,”  bertubi-tubi. Spontan saya merasa penderitaan yang saya hadapi belum ada apa-apanya dibandingkan dengan penderitaan tokoh yang diangkat dalam cerpen tersebut. ya meskipun cerpen itu fiktif dan belum tentu ada di kehidupan nyata. Tapi tak apalah, saya bersyukur sudah terhibur, dan itu lebih dari cukup.  

Begitu pula saat saya membaca cerpen senyum karyamin karya Ahmad Thohari.  Kembali saya merasa bersyukur yang teramat sangat. “Duh gusti, saya selalu dilimpahi kecukupan sandang-pangan, tidak seperti karyamin seorang tokoh cerpen yang lambungnya selalu kampong, ditambah lagi ia harus bermain kejar-kejaran dengan lintah darat, yang sering kali datang menagih hutang dan nyawa karyamin terancam,” gumam saya. Saya tidak akan mengulas secara rinci jalan cerita dalam cerpen-cerpen tersebut. cobalah mandiri . baca sendiri dan temukan “Alhamdulillah” dalam setiap cerita yang kalian temukan. kau akan terhibur oleh “orang-orang miskin yang bahagia,” dan juga senyum karyamin yang menawan. Dan, akhirnya alhamdulillahmu akan benar-benar lahir dari kesadaran tingkat tinggi. Bahwa hidupmu selalu dilingkupi keberuntungan. Selamat merayakan hidup, selamat penasaran!

Ponorogo, 8 Agustus 2020

Wasis Zagara

You Might Also Like

3 komentar

  1. Beribu kata makna _Alhamdulillah_

    BalasHapus
    Balasan
    1. Salam kenal, dan selamat membaca salah satu tafsiran maknanya--alhamdulillah

      Hapus
    2. Salam kenal, dan selamat membaca salah satu tafsiran maknanya--alhamdulillah

      Hapus

Sederhanalah Sejak dalam Pikiran!

Malam itu, aku sempat bertanya pada ibu "apakah ibu dan bapak menginginkan dicarikan mobil untuk a...

Popular Posts

Like us on Facebook

Flickr Images