Nikah dan Dua Tanda Tanya (?)

Agustus 17, 2020

 

Jika bulan sebelumnya semua acara yang berhubungan dengan seluk beluk pernikahan dilarang—sebab badai pandemi belum juga mereda, maka bulan ini pernikahan seperti air bah yang tumpah ruah ke seluruh penjuru kota. Berbagai macam hajatan pernikahan digelar. Foto bertukar cincin, menunjukan buku nikah, dan saling peluk dari belakang, bertebaran di jagad media sosial. Setiap kali membuka Story Whatsapp, Instagram dan Postingan Facebook, selalu saja terpampang sebuah foto perempuan berkebaya bersama laki-laki berjas—duduk bersama dalam miniatur singgahsana.

Begitu pula di Grub Whatsapp kelas waktu kuliah dulu, setiap minggunya minimal ada satu ungkapan yang terdengar menyenangkan sekaligus memilukan, “Mohon do’a dan kehadirannya di acara pernikahan kami.” Atau, salah seorang teman lagi yang Up to date Gosip terbaru nyeletuk “Selamat ya, sudah mau nikah, semoga bla bla bla”. Alhasil kaum jomblo yang termarginalkan pun hanya bisa berkomentar satu kata; “amin,” setelah itu, pergi menghilang ditelan bumi, dikoyak badai, dimuntahkan lautan. Namun, yang lebih ngeselin lagi ketika ada yang nyeletuk “Kapan kamu nyusul?” pertanyaan semacam itu bagi sebagian orang bisa membuat bumi terbalik, matahari terbit dari timur, dan gunung-gunung meletus berhamburan bagai sebutir debu, dan, ah, sudahlah.

Pertanyaan “kapan kawin?” saya rasa sudah cukup familiar dikalangan masyarakat-- Kendati diksi “kawin” sepertinya terdengar wagu di etnik Jawa. Baiklah, selanjutnya saya akan memakai diksi “nikah” saja supaya tidak multitafsir. Pertanyaan semacam itu dalam suatu keadaan bisa menjadi momok yang menakutkan bagi sebagian orang. Sampai-sampai ada salah seorang teman yang berniat betul menghindari berbagai macam acara pertemuan keluarga—seperti arisan keluarga, tasyakuran, hajatan pernikahan, lebaran, hanya supaya tidak ditanya “kapan nikah?”

Sebetulnya, bagi sebagian orang  yang “kelewat santai” seperti saya, misalnya, jika mendapati pertanyaan “kapan nikah?” bisa-bisa saja menjawab dengan enteng; “besok kalau tidak hujan, bro” sembari cengengesan tanpa dosa. tak memberi pengaruh sedikitpun terhadap mental dan psikologi saya. Namun, bayangkan jika hal serupa dikatakan pada seseorang yang baru saja patah hati, karena ditinggal pasangannya menikah duluan dengan orang lain yang lebih tebal dompetnya, lebih hitam jidatnya, lebih tebal kacamatanya? Atau, bagaimana jika pertanyaan itu meluncur ke seseorang yang sudah lima tahun menjalin hubungan dan berniat untuk menikah, tapi terpaksa harus kandas karena hitungan jawa dan restu orang tua?  Atau, bayangkan bila pertanyaan itu terlontar ke seorang Jodi (jomblo sebab ditinggal mati), jomblo akut—yang ditolak seluruh wanita se-kecamatan, jomblo bawaan—yang ditolak sejak dalam kandungan. Ah.

Jadi, sebaiknya pertanyaan “kapan nikah” tidak sembarangan dilontarkan ke pada semua orang. Sebelum kita mengetahui betul latar belakang hidup orang itu. Atau, setidaknya kita sudah mengenal lama, sahabat karib, yang kita hapal betul sejarah hidupnya—dari ketika ia hidup damai berdampingan, sampai setelah negara api menyerang.

Pertanyaan seperti itu sangat riskan untuk ditanyakan. Dan, ada kemungkinan bisa berakibat buruk, bagi penanya ataupun yang ditanyai. Meskipun, niat awalnya hanya untuk basa-basi dan bercanda, akan tetapi, jika kita tidak tepat sasaran—akan terjadi kesalahpahaman. Sebab penerimaan seseorang tidak sama satu dengan yang lainnya. Tidak bisa dipukul rata—seolah menganggap pertanyaan itu hal yang biasa untuk siapa saja. Ada yang menganggap itu bahan percandaan yang lucu, tetapi ada pula yang menganggap itu sebuah ejekan—yang menyebabkan selera makan hilang, atau menyebabkan satu nyawa hilang. Aih, mengenaskan sekali, bukan?

Saya sendiri pernah mengalami kejadian yang tidak begitu mengenakan. ketika itu saya bertemu dengan seorang teman di sebuah hajatan pernikahan. kami duduk bersebelahan. lama juga tidak bertemu dengannya, sebab setelah SMA dia memilih untuk bekerja di sebuah perusahaan tambang di Pulau Kalimantan, sedangkan saya memilih tetap melanjutkan pendidikan dan mendekam di Pulau Jawa. Tak ayal untuk sekedar basa-basi dan mencairkan suasana saya spontan saja melontarkan pertanyaan  “kapan nyusul, bro?” sembari mengarahkan pandangan ke sepasang mempelai yang sedang mesra-mesranya berfoto ria. Tetapi bukannya suasana berubah menjadi cair, tetapi justru malah jadi memilukan. Raut wajah teman saya berubah seketika, tertunduk lesu dan terlihat tidak lagi sumringah seperti semula, bahkan mungkin ia tertunduk karena menahan air mata. Seketika itu, suasana menjadi kaku. Saya merasa sedih karena membuat teman saya bersedih, dan dia terlihat semakin sedih, sebab melihat saya ikut bersedih melihat kesedihannya yang menyedihkan. Aggh..

Saya meminta maaf sejadi-jadinya. Tapi kata sudah terjatuh, membuat luka yang mulai beranjak kering kembali basah. Dan, duh gusti, saya begitu menyesal atas pertanyaan yang sebenarnya tidak terlalu penting itu. Saya sebelumnya tidak begitu mengerti, bahwa persoalan asmara ternyata bisa membuat hidup seseorang se mellow-dramatis seperti itu. Apalagi, pikir saya, dia terlihat tegar, jantan, gagah, berjenggot tebal dan sama sekali tidak berperawakan “patah hati”. Tetapi, ternyata perawakan fisik yang terlihat kuat dan jantan tidak benar-benar menjamin seseorang kuat berdamai dengan kisah masa lalunya. Dan, sejak saat itu saya mulai berhati-hati menjaga hati, supaya tidak lagi menyakiti hati. Salah satunya dengan menahan mulut saya untuk bertanya “kapan nyusul?” kendati saya ingin, sangat ingin dan begitu ingin. 

 

 Ponorogo, 17/08/2020

 Wasis_Zagara

 

You Might Also Like

0 komentar

Sederhanalah Sejak dalam Pikiran!

Malam itu, aku sempat bertanya pada ibu "apakah ibu dan bapak menginginkan dicarikan mobil untuk a...

Popular Posts

Like us on Facebook

Flickr Images