MENCINTAI KESENDIRIAN

Oktober 11, 2019



Sebenarnya aku tidak terlalu tau definisi ekstrovert dan introvert. Tapi mungkin kalau aku boleh sok tau, aku cenderung masuk ke golongan introvert. Gejala yang paling menonjol dari introvert yang pernah kubaca dan kupelajari, bahwasanya introvert cenderung menyukai ketika berada dalam situasi sendiri.
Agak naïf sih, jadi terkesan individual. Tapi esensi sebenarnya bukan pada individualnya, melainkan pada sisi menyukai kesendirian saja. Ini juga bukan berarti anti sosial. Pasalnya banyak juga introvert yang segi sosialnya bagus, gampang bergaul, dan mudah diajak kerjasama, tapi naturalnya ia akan senang berada dalam kondisi sendiri dan penuh ketenangan.
Oke, akan kumulai dengan sedikit cerita. Begini… di masa kecilku, lingkungan sekitarku menganggap aku bocah yang pemalu dan pendiam. Aku cenderung pasiv ketika berada dalam satu gerombolan, entah itu sekumpulan anak kecil atau sekumpulan orang dewasa. Tapi lebih pendiam lagi ketika aku dihadapkan dengan sekumpulan orang dewasa.
Seringkali aku merasa muak dengan diriku sendiri, kenapa aku bisa bersikap se pasif itu, padahal sebenarnya dalam lubuk hatiku aku juga ingin seperti yang lainnya, bisa ngobrol ngalor ngidul, basa basi sana-sini, ngobrolin hal-hal yang tidak jelas, bergurau tiada henti. Bagiku kepribadian pendiam dan pemalu ialah sebuah kekurangan. Hamper mendekati cacat mental.
Apalagi society sekelilingku mengatakan, atau setidaknya menanamkan anggapan bahwa “pemalu dan pendiam adalah suatu sikap yang buruk”. Ditambah lagi, pihak keluarga, termasuk orang tua menyetujui hal serupa, “lihat itu si doni, si bayu, si rudi, mereka anak-anak yang pemberani dan aktif berbicara”. itu kata orang tuaku yang sering muncul. Anggapan-anggapan itu membuat aku merasa bahwa aku memang lahir dengan cacat kepribadian. Ditambah lagi orang tua yang sering memojokkanku bukan membangkitkan jiwaku ketika sifat diam dan Maluku mucul. Hingga muncul rasa pesimis tingkat provinsi, muncul rasa minder kelas sekarat pada diriku. Aku takut melakukan apapun, karena aku sudah yakin bahwa seorang yang pendiam dan pemalu sepertiku tak pantas berada diposisi depan atau posisi terbaik dimanapun.
Disisi lain aku hanya tidak minder ketika aku mengerjakan soal ujian, sebab itu ialah urusan masing-masing. Tapi aku kembali minder ketia ada  kegiatan pelatihan yang sifatnya kelompok. Dirumah pun aku akan cenderung menikmati kesendirian, dengan mengurung diri di kamar dan menulis atau menggambar sesuatu, sebab itu bis dikerjakan sendirian, dari pada harus keluar rumah dan berada satu tempat dengan manusia lainnya.
Semakin hari, aku semakin yakin bahwa aku memang manusia yang cocok hidup sendiri. Meski di pelajaran IPS dikatan bahwa manusia adalah makhluk sosial yang tak bisa sendiri. Aku sangat setuju itu. Tapi aku mulai menyukai kesendirian.

Rasa malu dan pendiamku mulai merosot ketika beranjak dewasa. Puncaknya di awal masuk kuliah. Aku mulai mempelajari banyak hal agar aku bisa merubah kerakterku. Semacam ada dorongan dalam jiwa, untuk sembuh dari kecacatan (menurut kebanyakan orang) ini.
Aku mulai mempelajari, bagaimana memulai pembicaraan, mulai banyak bicara tanpa kehilangan topik, mulai menghafal humor-humor kecil, belajar tertawa yang memuaskan orang. Itu semua kulakukan diam-diam. Tujuannya satu: aku turut menganggap karakter sebelumnya adalah kecatatan, jadi aku harus sembuh, hingga bisa banyak bicara.
Akhirnya dimasa kuliah, aku serasa telah berhasil mengelabui mereka sekaligus mengelabui diriku sendiri. Bahwa aku bukan pemalu dan pendiam. Teman-teman yang baru mengenalku dimasa kuliah, mengklaim bahwa aku pintar ngomong dan pemberani usul sana-sini. Aku merasa memiliki karakter ganda, orang-orang dirumah dan teman lamaku menganngap aku pendiam dan pemalu. Nah teman dibangku kuliah, menganggap aku pintar bicara dan gak tau malu.  Sebab aku sering menjadi pembicara dan memimpin diskusi-diskusi dengan heroic.
Dari cerita panjangku ini sebenarnya aku ingin menggaris bawahi, bahwa tekanan sosial apalagi orangtua sendiri bisa berakibat serius pada pola pikir dan keyakinan anak. Bukan maksudku menyalahkan orangtuaku, mereka adalah orang yang paling kucintai sepanjang usia Tuhan. Tapi ini hanya menjadi referensi saja untuk aku yang akan menjadi orang tua. Atau untuk kalian yang sudah menjadi orang tua.
Bahwa bisa terlahir mewarisi karakter apapun, entah itu pendiam, pemberani, perusak, pemalu atau apapun. Tapi bukan berarti mereka tidak bisa menjadi orang yang istimewa. Ketika mereka tidak ditanamkan rasa pesimis dan sering dipojokkan semata. Artinya perlu ada peran keluarga untuk membangkitkan moralnya, agar mampu berprestasi dengan karakter bawaan masing-masing.
Dan sekali lagi, introvert bukan sebuah kekuarangan. Ia tetap bisa bergaul, berprestasi, berkarya dalam bentuk apapun, ketika dia terima akan apa yang menjadi karakternya. Dan terus berusaha memperbaiki diri. Jadi jangan jadikan bahan olokan, bulying, dan bahan lelucon. Sebab tak semua orang bisa bangkit dari sikap mindernya. Dan bangsa ini butuh orang-orang percaya diri.
                Bukan minder ketemu orang asing, hingga menganggapnya lebih cerdas, lebih berkelas. Padahal sama saja. Mereka juga menganggap kita bangsa asing. Tapi mereka tak minder melihat kita yang asing. Jadi selama langit kita masih sama, bumi yang kita injak sama, maka tak ada alasan untuk merasa lebih rendah. Kepada bangsa asing, kepada tegnologi, kepada ilmuan. Kita sama, langit kita juga sama

10/11/2019 - Wasis Zagara

You Might Also Like

0 komentar

Sederhanalah Sejak dalam Pikiran!

Malam itu, aku sempat bertanya pada ibu "apakah ibu dan bapak menginginkan dicarikan mobil untuk a...

Popular Posts

Like us on Facebook

Flickr Images