Anak Kecil dan Ingatan Yang berkelindan

April 13, 2022

 


 

Malam pekat, sekaligus gerimis yang tak henti-hentinya berjatuhan, memaksa saya berkendara  serba pelan—barangkali memang sengaja dipelan-pelankan. Bersama kuda hitam pemakan bensin ini, saya menyusuri bukit demi bukit, melewati satu persatu pohon pinus yang berbaris di tepi jalan. Terlebih, di musim hujan seperti ini, kabut begitu akrab menyelimuti kampung halaman. Kabut di desa saya biasa turun pukul lima sore. Dan, kembali melangit, setelah matahari mulai muncul dari balik perbukitan.

                Betul memang, kabut senantiasa mencipta nuansa estetik tersendiri di wilayah pedesaan—dan ini yang selalu saya rindukan dari kampung halaman: rumbai-rumbai kabut yang menyejukan sejauh mata memandang.

Akan tetapi, jika berkendara malam hari seperti ini, kabut membuat jarak pandang kian terbatas. Alih-alih memanjakan mata dengan pemandangan pucuk-pucuk pinus dan cemara, saya justru harus meraba-raba arah jalan yang naik-turun di sertai lubang tak beraturan.

Setelah berhasil melewati Gapura masuk desa, malam itu, terlihat empat anak bersepeda--satu anak laki-laki, dan tiga anak perempuan. keempat-empatnya menggendong ransel yang sedikit basah—terguyur gerimis. Dari raut wajah dan ukuran badannya, saya rasa mereka anak-anak usia sekolah dasar.Tanpa berbalut alat pelindung hujan apa pun, mereka mengkayuh sepeda dengan kecepatan  yang biasa-biasa saja. Tanpa grusa-grusu. Tanpa terganggu oleh pekat malam atau dinginnya air hujan. sembari mengikuti perjalanan mereka, saya menyapa anak laki-laki yang berada paling belakang. "habis dari mana, dek?" Tanyaku--tentu dengan Bahasa Jawa berlogat khas penduduk desa. "Mau pulang mas, habis belajar kelompok" serunya sambil terus mengkayuh pedal sepedanya.

"Tak coloki, dek" (Saya kasih pencahayaan ,dek) Ucapku, sembari terus mengikuti mereka dari belakang. Setelah beberapa ratus meter, mereka berbelok ke sebuah gang kecil--barangkali menuju arah rumah mereka, sembari bersorai bergantian "Matur Suwun, Mas". Saya melambaikan tangan disertai isyarat acungan jempol. Dan, terus melaju menuju rumah, yang jaraknya masih lumayan jauh.

 Di tengah perjalanan menuju rumah itu,  pikiran saya terlempar ke masa lalu. Suatu memori acapkali menancap di ingatan. Dulu, ketika seusia anak-anak kecil itu, saya juga termasuk anak yang familiar dengan rutinitas belajar kelompok. Malam-malam nimbrung di rumah teman, dalam rangka mengerjakan PR atau sekadar menyalin pelajaran dari buku paket yang dipinjamkan secara terbatas.

Maklum, Sekolah Dasar di desa saya dulu kurang memiliki akses pada buku bacaan. Jangankan buku bacaan, untuk buku paket yang menjadi bahan ajar utama saja masih sangat terbatas. Biasanya satu kelas hanya dipinjami 4 sampai 5 buku paket, sedangkan jumlah murid dalam satu kelas bisa mencapai 40 sampai 45 siswa per-kelas. Itu artinya untuk bisa mengakses buku paket--baik untuk keperluan mengerjakan PR atau dibaca, kami harus membentuk 4 atau 5 kelompok belajar. Dan, diutamakan yang rumahnya berdekatan, supaya bisa lebih mudah jika mau pinjam-meminjam, atau sekadar menyalinnya.

Namun, anehnya, keterbatasan buku itu sama sekali tidak membuat kami mengeluh, atau menyalahkan keadaan, atau menyalahkan menteri pendidikan, atau menyalahkan bapak presiden. Ya tentu saja, saat itu, kami hanya anak sekolah dasar yang tidak tahu menahu, atau bahkan tidak merasa perlu tahu, carut marut persoalan menteri pendidikan dan presiden. Urusan kami hanya menyalin dan mengerjakan PR dengan tuntas-- biar tidak menjadi sasaran kemarahan ibu guru. Sekali lagi, tidak ada urusan dengan jaminan ketersediaan buku dari pemerintah. Setelah urusan PR, menyalin, main obak sodor, main sepak bola plastik, makan jajanan mie lidi, beli dua buah es lilin, dan, jika semua urusan itu telah tandas, hidup kami sudah tentram dan bahagia.

Dari ingatan masa lalu--yang dipantik oleh anak-anak kecil itu, saya merasa terharu sekali mengenang kegigihan saya di masa lalu: hampir tiap sore atau malam belajar kelompok, mengerjakan PR hingga larut, senangnya bukan main kalau mendapat jadwal membawa buku paket, berangkat sekolah dengan berlari 5 KM tiap pagi, menyelesaikan tugas lebih awal dari waktu yang ditentukan.

Akan tetapi itu dulu. Dan, barangkali betul juga kata Raditya Dika, “bahwa semua itu ada kadaluarsanya” seperti mie instan, bawang goreng, perasaan jatuh cinta, mengagumi seseorang, dan termasuk kegigihan di masa lalu.

Saya rasa kegigihan semacam itu tidak serta merta mudah saya hidupkan kembali di masa sekarang. Mungkin sudah kadaluarsa. Dan, harus diganti dengan bentuk kegigihan-kegigihan baru yang relevan dengan sekarang.

Jika mau berterus terang pada diri sendiri, mungkin saya di masa lalu lebih bersemangat dan gigih dalam belajar dibandingkan sekarang. Dan, itu terjadi justru ketika ketersediaan akses buku sungguh terbatas. Dan, sekarang kebalikannya, jika saya mau, Saya bisa mendatangi perpustakaan kampus, perpustakaan daerah kota setempat, atau perpustakaan daerah kota lain, kalau hanya untuk membaca buku. Atau, yang paling praktis dan mudah dijangkau, tanpa batas waktu, tanpa kemana-mana, tanpa perlu keluar biaya—sudah tersedia ebook gratis di internet yang jumlahnya ribuan.

                Segala ketersediaan akses bacaan yang tidak terbatas itu berbanding terbalik dengan keterbatasan tekad saya untuk belajar lebih giat. Ya mungkin saya bisa beralibi, bahwa dulu saya tidak disibukan dengan berbagai macam tanggung jawab seperti sekarang. Tapi apapun alibinya tetap saja tidak bisa menampik, bahwa saya telah kalah gigih dari diri saya di masa lalu, atau barangkali juga anak-anak itu.

Bayangkaki, 09/03/2022

Wasis Zagara

Sumber Gambar pixabay.com

You Might Also Like

0 komentar

Sederhanalah Sejak dalam Pikiran!

Malam itu, aku sempat bertanya pada ibu "apakah ibu dan bapak menginginkan dicarikan mobil untuk a...

Popular Posts

Like us on Facebook

Flickr Images